JEJAK.NEWS, KOTAMOBAGU– nama Soeharto kembali muncul dalam daftar usulan Pahlawan Nasional, sebagian bangsa terperangah, sebagian lagi mengangguk pelan. Perdebatan itu seperti membuka lembar sejarah yang selama ini mungkin tertutup kabut emosional. Ada yang melihatnya sebagai bapak pembangunan. Ada pula yang mengingatnya sebagai representasi kekuasaan absolut. Tapi sejarah bukan hanya tentang hitam dan putih—ada ruang abu-abu di mana fakta dan pengalaman rakyat bertemu. Di ruang itulah saya mencoba meletakkan pandangan saya tentang Soeharto.
Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia, memimpin negeri ini selama 32 tahun, dari 1966 hingga 1998. Sebuah masa yang terlalu panjang untuk dilukiskan hanya dengan satu kata: diktator atau pahlawan. Dalam setiap keberhasilan sebuah bangsa, selalu ada harga yang dibayar. Begitu pula dalam setiap kesalahan pemimpin, selalu ada niat baik yang mungkin tidak tersampaikan dengan sempurna. Namun, apa pun kontroversinya, kita tidak bisa menghapus fakta bahwa sebagian besar pembangunan yang menopang kehidupan kita hari ini—jalan, irigasi, listrik, sekolah dasar di pelosok—bermula dari era Soeharto.
Stabilitas Nasional: Fondasi dari Segala Pembangunan
Indonesia sebelum Soeharto adalah negeri yang kacau: inflasi mencapai lebih dari 650%, harga barang melambung tak terkendali, dan konflik politik penuh gejolak. Soeharto hadir di masa genting itu dengan satu janji: stabilitas.
Soeharto membangun pemerintahan yang kuat – bahkan terlalu kuat. Ia memastikan negara berada dalam satu komando. Dalam pandangannya, stabilitas lebih penting daripada kebebasan politik. Ia menertibkan berbagai pergerakan ideologi yang dianggap mengancam keutuhan bangsa. Hasilnya: Indonesia tidak terjerumus dalam perang saudara seperti banyak negara baru merdeka lainnya.
Di mata sebagian rakyat yang hidup di masa itu, stabilitas bukan sekadar jargon. Stabilitas berarti anak-anak bisa sekolah tanpa takut bom, harga sembako tidak naik setiap minggu, dan pemerintah berjalan tanpa drama politik di layar televisi.
Pertanyaannya: apakah stabilitas yang dibangun melalui pembatasan demokrasi layak disebut pahlawan? Jawabannya tergantung siapa yang menjawab.
Ledakan Pertumbuhan Ekonomi: Indonesia Disebut “Keajaiban Asia”
Sejarah ekonomi mencatat bahwa pada dekade 1980–1990, Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi terbaik di dunia. Bank Dunia menyebut Indonesia sebagai bagian dari Asian Miracle. Pertumbuhan ekonomi di masa Soeharto rata-rata mencapai 7% per tahun. Tingkat kemiskinan yang pada akhir 1960-an berkisar 60%, berhasil ditekan menjadi sekitar 11% pada pertengahan 1990-an.
Di desa-desa, ini bukan sekadar angka statistik. Ini soal nasi di piring, soal kebutuhan anak sekolah terpenuhi, dan soal banyak keluarga yang naik kelas sosial. Banyak orang tua di masa itu berkata sederhana: “Hidup itu gampang pada zaman Pak Harto. Harga barang stabil.”
Kestabilan ekonomi membuat rakyat bisa merencanakan masa depan. Pertanyaan kembali muncul: apakah hasil ekonomi bisa menjadi dasar menyematkan gelar pahlawan?
Swasembada Beras 1984: Prestasi yang Menggema ke Dunia
Di mata saya, momen ini adalah salah satu pencapaian terbesar Soeharto. Dengan program Bimas, Inmas, dan intensifikasi pertanian, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984. FAO memberi penghargaan langsung kepada Soeharto. Ia berdiri di podium, mengenakan batik, mewakili petani Indonesia. Banyak petani menangis haru saat itu, karena dari situ mereka merasakan hasil kerja pemerintah secara langsung. Indonesia yang pernah lapar kini bisa memberi makan dirinya sendiri.
Sebuah bangsa yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya adalah bangsa yang merdeka secara sejati.
Infrastruktur dan Desa sebagai Lokomotif Pembangunan
Soeharto tidak hanya membangun kota; ia membangun desa. Program Inpres Desa Tertinggal menjadi angin segar bagi ribuan desa terpencil. Listrik masuk desa, jalan raya dibuka, jembatan dibangun, waduk dan irigasi dikerjakan. Ia paham bahwa pembangunan bukan hanya gedung-gedung tinggi, tetapi aliran air ke sawah, jalan menuju pasar, dan listrik yang menerangi rumah-rumah rakyat.
Jika hari ini kita bepergian dari kota ke desa dan menemukan jalan aspal yang lapang, besar kemungkinan fondasinya dibangun pada era Soeharto. Pendidikan untuk Semua: SD Inpres dan Wajib Belajar
Warisan Soeharto yang paling terasa hingga hari ini adalah pendidikan dasar.
SD Inpres didirikan di hampir setiap kecamatan, bahkan di pelosok. Program wajib belajar 6 tahun membuka peluang bagi jutaan anak miskin untuk mengecap pendidikan. Banyak pemimpin kita hari ini pernah duduk di bangku SD Inpres. Pendidikan dasar adalah tangga peradaban, dan Soeharto membangunnya dari fondasi.
Tetapi Sejarah Tidak Bertepuk Sebelah Tangan
Tentu saja tidak semua cerah. Ada tuduhan pelanggaran HAM, pembungkaman pers, KKN yang menjerat keluarga dan kroni. Ada luka yang belum sembuh sepenuhnya di beberapa daerah. Reformasi 1998 menjadi klimaks dari akumulasi kekecewaan itu. Soeharto turun bukan sebagai pahlawan, tetapi sebagai pemimpin yang kehilangan legitimasi. Namun pertanyaan esensialnya: apakah kesalahan menghapus semua karya?
Soeharto di Mata Saya
Bagi saya, Soeharto adalah paradoks: Seorang pemimpin yang membawa kemajuan, tetapi juga meninggalkan kontroversi. Seorang bapak pembangunan, tetapi juga simbol kekuasaan tanpa batas.
Pemimpin yang dicintai, sekaligus dikritik.
Apakah ia pahlawan? Mungkin sejarah yang akan menjawabnya -bukan kita. Sebab pahlawan bukan dinilai oleh sorak atau caci; tetapi oleh jejaknya dalam kehidupan bangsa. Yang pasti, Soeharto telah menorehkan tinta tebal dalam lembar sejarah Indonesia. Dan sejarah, suka atau tidak, tidak akan pernah bisa menghapus namanya.
Oleh: Hamri Manoppo.







