JEJAK.NEWS, KOTAMOBAGU – Sebagai seorang guru sejarah, apa yang harus saya jawab ketika siswa-siswi saya bertanya: “Siapa pahlawan nasional dari Bolaang Mongondow?”. Anak-anak itu bertanya tentang sosok yang menjadi teladan saat jiwa dan perasaan mereka bangga menjadi bagian dari Indonesia Raya. Namun hingga kini, tiada jawaban yang akan saya beri walaupun beberapa tokoh kita nyatanya memiliki peran besar terhadap lahirnya Indonesia Merdeka.
Kita nampak abai pada soal-soal mengangkat dan memuliakan pahlawan, tak peka, kehilangan jatidiri karena mengubur sejarah pada relung terdalam hati kita. Usaha untuk memperjuangkan pahlawan nasional asal Bolaang Mongondow tidak dapat dilakukan oleh sekelompok orang saja. Itu membutuhkan dukungan dari semua pihak yang ada di Bolaang Mongondow, termasuk pemerintah daerah, dan seluruh elemen masyarakat. Selain soal sejarah, pengangkatan pahlawan nasional juga membutuhkan intervensi politik pemerintah baik di daerah maupun di pusat.
Apa yang perlu dilakukan agar usaha itu bisa terwujud? Jawabannya adalah kesadaran! Bangkitnya kesadaran bahwa pahlawan adalah suri teladan yang bisa menjadi kompas dalam menyusuri arah bangsa. Tanpa pahlawan, kita menjadi seperti tamu di negeri sendiri, berdiri dibelakang panggung nasional tanpa sosok yang menjadi inspirasi dan kebanggaan. Pada akhirnya kita tanpa pegangan dan terabaikan dalam panggung sejarah negeri ini.
Krisis kepahlawanan di Bolaang Mongondow telah lama terjadi. Membuat kita melupakan gagasan dan semangat tokoh-tokoh pejuang kita di masa lalu. Membuat kita lupa dengan keberanian Jajubangkai melawan Spanyol hingga titik darah penghabisan. Membuat kita lupa dengan semangat Kinalang Damopolii dan Loloda Mokoagow menundukan bangsa-bangsa barat yang pernah berhubungan dengan Bolaang Mongondow melalui pertempuran dan diplomasi yang cerdas. Membuat kita lupa dengan perlawanan Sadaha Jambat di masa Raja Salomon Manoppo yang menuntut agar raja dikembalikan di Bolaang Mongondow setelah diasingkan ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan.
Di masa kini, krisis kepahlawanan dan tokoh pejuang kian terasa nyata. Gema Provinsi Bolaang Mongondow Raya saja seperti mulai parau, kehilangan gaungnya. Kita kehilangan tokoh-tokoh yang menjadi inspirasi baik ditataran lokal hingga nasional. Krisis kepahlawanan menjadi momok bagi kita semua karena kehilangan arah, lebih senang memuja tokoh-tokoh di luar sana daripada meneladani putra-putri asli yang telah mencatatkan nama dalam lembaran sejarah Indonesia.
Di masa lalu, semangat leluhur adalah kompas yang menjadi standar moral menilai baik dan benar masa depan Bolaang Mongondow. Itu pernah dilakukan oleh Raja Johanes Manuel Manoppo saat menyerang Residen Manado dengan 300 pasukan dari Bolaang Mongondow untuk melawan Belanda yang memaksa kerajaan untuk menyerahkan tanah demi kepentingan sistem tanam paksa. Raja Johanes memilih melawan karena terinspirasi dengan semangat Loloda Mokoagow (orang yang hidup 200 tahun dari masanya) leluhurnya yang menjadi Raja Manado pada abad ke-17. Tanpa rasa takut Raja Johanes menyerang Belanda meski harus ditangkap dan diasingkan.
Ridel Manuel Manoppo juga demikian, menolak kontrak 22 Oktober 1895 yang harus menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda dengan mengakui Ratu Belanda sebagai tuan tertinggi bagi Bolaang Mongondow sebagaimana kebijakan Pax Netherlandica abad ke-19. Dengan berani Riedel menolak dan memerintahkan Hatibi Dibo Mokoagow untuk melawan pasukan Belanda bila datang ke Bolaang untuk mengintervensi kerajaan. Perlawanan pecah di sana pada 1898 saat Asisten Residen Manado, A.C. Venhuizeen datang dengan korps militer Belanda di Istana Bolaang untuk meminta raja menerima Keputusan Residen Manado.
Hatibi Dibo Mokoagow dan Eman Managin lalu melawan dan mengusir tentara Belanda pulang kembali ke Manado setelah terjadi insiden bendera di depan komalig Bolaang. Saat Belanda mengibarkan bendera tiga warna, Hatibi Dibo menurunkan bendera tersebut dan membuangnya untuk kemudian diganti dengan bendera kerajaan Bolaang Mongondow. Peristiwa itu menunjukan bahwa kita tidak mudah diintervensi oleh pihak luar dan martabat serta harga diri kerajaan tetap dipulihkan hingga tahun 1901 terjadi dualisme kekuasaan antara Raja Riedel Manuel Manoppo dengan Datu Cornelis Manoppo.
Apa yang menginspirasi raja-raja kita sehingga berani melawan kekuasaan yang menindas dan mengintervensi harkat dan martabat Bolaang Mongondow? Jawabannya adalah semangat dan teladan dari leluhur-leluhur mereka (mogoguyang) yang terkenal pantang menyerah dan berani melawan hingga titik darah penghabisan.
Semangat para bogani yang tangguh, Jajubangkai yang melawan Spanyol, Kinalang Damopolii yang menundukan laut Sulawesi, Loloda Mokoagow yang kuat dan pintar berdiplomasi, Sadaha Jambat yang melawan VOC dengan peadang dan tombak, semua itu menginspirasi raja-raja kita di abad ke-19. Warisan semangat itu melahirkan tokoh-tokoh berani seperti Johanes Manuel Manoppo, Riedel Manuel Manoppo, Hatibi Dibo Mokoagow, dan Eman Manangin, yang menjadi inisiator perlawanan di Bolaang akhir abad ke-19.
Semangat untuk meneladani keberanian tokoh-tokoh itu juga menginspirasi Abram Patra Mokoginta hingga tidak mudah dirayu oleh pengaruh kolonial meski sempat memegang jabatan strategis di kerajaan Bolaang Mongondow sebagai Perdana Menteri (Djogugu). Saat Belanda mengintervensi Bolaang Mongondow pada penentuan raja tahun 1927, dia memilih hidup dan tinggal di Batavia dengan mewariskan paham kebangsaan modern kepada Unta Mokodongan, Adampe Dolot, para tokoh SI abad ke-20 hingga api perlawanan tidak padam meski Belanda telah menanamkan kakinya di negeri Bolaang Mongondow.
Kerajaan Bolaang Mongondow di abad ke-20 memang berbeda dengan kerajaan di abad ke-19 dan jauh sebelum itu. Di abad ke-20, Raja Bolaang Mongondow sepenuhnya berada dalam pengawasan controleur. Sejak masa Raja D.C. Manoppo raja harus tunduk pada pemerintah kolonial bila tidak ingin diganti. Segala kebijakan harus melalui persetujuan Belanda baik kebijakan dalam negeri maupun urusan luar negeri Bolaang Mongondow. Kerajaan Bolaang Mongondow tidak lagi merdeka penuh dan Belanda menjadi tuan bagi negeri ini.
Menyadari hal itu, maka bagi tokoh-tokoh SI, hanya ada dua cara untuk mengembalikan kedaulatan politik dan tanah kepada rakyat. Pertama; dengan cara memberontak dan merebut kekuasaan langsung dari raja dan pemerintah Belanda, kedua; membubarkan kerajaan dan mengantinya dengan sistem yang lebih demokrastis meski harus menghapus sejarah panjang kerajaan ini.
Langkah pertama gagal pada tahun 1940 ketika ratusan tokoh-tokoh SI dibuang dan diusir dari kerajaan karena dianggap ingin mengkudeta Raja Bolaang Mongondow dan mengantinya dengan Adampe Dolot pasca Kongres SI Ke-25 di Palembang. Langkah kedua berhasil setelah pada tahun 1950, ketika SI dan organisasi-organisasi pergerakan berhasil membubarkan kerajaan yang dianggap pro terhadap bentuk Negara Serikat Indonesia (RIS), menjadi daerah yang sepenuhnya mendukung NKRI.
Semangat A.P. Mokoginta kemudian menginspirasi putranya Ahmad Yunus Mokoginta dan Lena Mokoginta hingga aktif terlibat dalam gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. A.Y. Mokoginta ikut berjuang terhadap kemerdekaan dengan cara mengangkat senjata, sedangkan kakaknya melalui gerakan-gerakan organisasi kebangsaan pada masa itu. Syarekat Islam sendiri menjadi organisasi kebangsaan yang sukses membawa perubahan besar dalam aspek politik, sosial, pendidikan, dan ekonomi di Bolaang Mongondow. Sejarah mencatat bahwa semangat leluhur Bolaang Mongondow, diwariskan tiap turun temurun, generasi ke generasi yang berani melawan penindasan dan ketidakadilan di tanah Totabuan.
Kini kita hidup di abad ke-21 dengan krisis kepahlawanan yang sudah hampir kronis. Siapa tokoh-tokoh kita di masa kini yang mewarisi keberanian leluhur di masa lalu? Siapa tokoh-tokoh kita yang berani memimpin perubahan besar di Bolaang Mongondow abad ke-21? Nampaknya tidak ada.
Sulit mencari sosok seberani A.P. Mokoginta, Unta Mokodongan, Adampe Dolot, yang melawan meski diasingkan. Atau bahkan A.Y. Mokoginta yang benar-benar berjuangan dibawa desingan peluru dan mortir di medan perang tanah Jawa. Pengabaian kita terhadap mereka pada akhirnya menjadi sebuah kutukan. Bahwa kita tidak akan pernah lagi menjadi besar selama tidak menjadikan leluhur kita sebagai teladan dan inspirasi untuk mencapai Bolaang Mongondow yang bermartabat.
Seperti kata Bung Karno “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan”. Bolaang Mongondow akan mencapai itu lagi bila kita berani meniru dan mengambil nilai-nilai semangat perjuangan, keberanian, ketangguhan, para tokoh-tokoh pejuang kita di masa lalu.
Langkah awal yang harus kita lakukan saat ini adalah membangun kesadaran untuk kembali pada semangat leluhur kita. Selain itu penting untuk memperjuangkan para tokoh-tokoh bangsa dari Bolaang Mongondow agar sesegera mungkin diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia. Saya berharap semoga tahun depan atau setelahnya, di kelas saya mengajar Pelajaran sejarah kelak terpampang wajah-wajah pahlawan asal Bolaang Mongondow sebagai inspirasi dan teladan bagi generasi-generasi yang akan datang.
*Penulis adalah peneliti sejarah lokal di Sulawesi Utara. Menulis Buku: Perlawanan Rakyat di Pedalaman Mongondow Tahun 1902.(abo).








